Kamis, 28 Juni 2012

Tukang Beli Obat


Kali ini saya akan menulis fakta yang terjadi di masyarakat dan kebetulan berkaitan dengan background pendidikan saya.
Di suatu pagi, di daerah Cilincing-Jakarta Utara, sekitar pukul 9, ketika para ibu rumah tangga sedang berkumpul alih-alih menunggu tukang sayur malah bergosip ria, lewatlah pria paruh baya bertopi dengan mengendarai sepeda kumbangnya.

pengendara sepeda di atas bukan tukang beli obat loh. Hanya untuk mendeskripsikan cerita saya saja.


“Obat,,,obat,,,obat!!!”

Hmmmmm, agak aneh nih kedengarannya. Saya sudah familiar dengan tawaran “sooooooolll sepaaaaaaaatttttuuuuuu” atau “perabot,,,perabooooot” dan “naaaaaaasi keriiiiiing” bahkan “jual emas, perak,,, cincin patah, anting sebelah”.  Tapi, “Obat, obat”?.
Entah mengerti wajah penasaran saya, atau karena melihat sekumpulan ibu-ibu sedang bergosip, Bapak itu berhenti.
 “Ada yang punya obat bu?” tanyanya.
“Kagak ada, obat gue dah habis” kata Nenek Alda.
“Gak ada Bang, gak sakit, males ngantri juga kalo berobat” sahut Ibu Ria.
 Cuma saya yang bengong masih menebak-nebak sendiri.
‘Ooo, ni Bapak calo apotek kali. Dia makelar resep. Jadi kalau ada orang-orang yang males antri ambil obat, resepnya dia yang bawa, dia yang nebusin di apotek, ntar obatnya dianterin ke rumah pasien itu lagi.’ Kata Sok Tau,-suara hati saya.
‘Ah, tapi kan rumah saya gak dekat ama rumah sakit’ kata Pembantah, - suara hati saya yang lain.
Gak betah mendengar  perdebatan suara hati saya, akhirnya saya bertanya ke Ibu Bari, setelah Bapak tadi pergi tentunya.
“Nawarin apaan tu Bu?”
“O, itu… Kalo Mbaknya punya obat yang udah gak kepake lagi, tawarin aja ke Bapak tadi. Ntar sama dia dipilih-pilih, trus dibeli. Lumayan loh Mbak. Pas kemarin Mbak Tin punya obat sampe 300ribu dibeli ama Bapak itu.” Jelas Ibu Bari.
“Trus obatnya diapain Bu, sama dia?”
“Katanya dijual lagi sama yang perlu obatnya,,,eeeehhhh” Ibu Ria seakan tersadar baru membocorkan rahasia gembong mafia pada pak polisi.
“Atau mungkin ke apotek atau rumah sakit gitu loh Mbak.” merevisi kalimatnya agar nampak logis.
“Waaaaah, gak bener tuh bu. Ntar kalo obatnya ternyata udah kadaluarsa trus dikasih ke pasien ‘kan bahaya Bu. Kalo kita yang jadi pasiennya bagaimana bu?”
 “Oh, Iya, ya Mbak? Aturan gak boleh ya?”
“Ya gak boleh lah Bu. Kalo emang obat dah gak kepake lagi karena sudah sembuh, ya coba dikembalikan atau diganti vitamin di apotek tempat beli obatnya. Atau kalo pas sakit, nebus  obatnya separuh dulu, ntar kalo belum sembuh yang separuhnya ditebus lagi. Kecuali untuk obat-obat tertentu yang memang harus dimunum sampai habis sesuai dosis dari dokter.” Saya ngempet emosi menjelaskan.

>tampar muka sendiri, di mana kau wahai profesionalisme?<

Selasa, 12 Juni 2012

Saya menikah dengan pria tidak romantis


Memancing pria tidak romantis menjadi romantis gampang-gampang susah.
Terinspirasi oleh status Facebook yang ditulis oleh teman saya, Aulia, saya jadi mendulukan tulisan ini untuk di upload.

Suami saya tidak romantis. Sama sekali. Tidak pernah mendengar dia mengucap “I Love You” tanpa saya minta. Alasannya “Gak sopan masa sama istri bilang ‘kamu’ (you=kamu)”. Berbeda saat sebelum menikah, sms-sms mautnya gak keitung. But, I have no doubt that he really loves me.
Setelah menikah, terkadang kami menghabiskan waktu libur dengan keliling Jakarta. Sekedar kuliner di Kota Tua, ke Glodok hunting CD bajakan atau menghitung blok di Tanah Abang . Waktu itu kami masih naik angkutan umum. Harus oper angkot, sebrang sana sebrang sini. Suami yang sudah terbiasa dengan keramaian Jakarta santai saja saat akan menyeberang. Saya memang di sebelahnya, tapi saya sempat panik  takut. Karena saya berada di sisi arah kendaraan datang. Apa saya memarahi suami? Kalau saya tidak memahami suami saya, mungkin iya. Dengan latar belakang pergaulan masa kuliah (Teknik Mesin) dan pendidikan kemiliteran (suami mengikuti UKM MENWA semasa kuliah)  yang mayoritas laki-laki, serta part time worker sedari SMP yang membuat ia tidak pernah pacaran, saya harus banyak maklum bahwa suami saya belum mengerti bagaimana perempuan ingin diperlakukan. At least, bagaimana saya minta diperlakukan.
Saya hanya mengatakan padanya : “Yang, lain kali kalo nyebrang Uda njagain aku dong. Tu lihat Bapak itu juga kalo nyebrang njagain anak istrinya.” Sambil menunjuk ke arah keluarga yang sedang menyebrang jalan.
“O, gitu ya?” tanya suami saya.
“Iya”
Next time, suami selalu memegang tangan saya dan berada di sisi arah kendaraan datang ketika menyeberang :).
********
Ketika belanja bulanan di toko serba ada dekat rumah yang tidak menggunakan troly, saya memegang keranjang dan list belanja. Terkadang sambil menyebutkan nama barang dalam daftar, saya meminta suami mengambilkan barang tersebut karena saya tidak menemukannya atau saya membiarkan suami yang memilih. Sekali, dua kali belanja bulanan suami masih tidak ngeh -“what should I do?” - selain membayar di kasir.
Sampai ketika pulang belanja, saya sedikit merengek “Duuuuuh, tanganku pegel nih, keranjangnya tadi berat banget. Gula pasir 5 kg, minyak goreng 2L, udah keliatan tuh 7kg, belum yang lain-lain. Lain kali Uda yang bawain keranjangnya ya?” sambil tersenyum manja.
Next time, ketika belanja, suami sudah sigap dan siap apa yang harus dilakukan. Bahkan ketika hanya berbelanja kekurangan logistik, seperti deterjen dan pasta gigi, suami menengadahkan tangannya meminta barang yang saya bawa agar dia saja yang membawanya. What a surprise :) :)
*******
Saya tidak terlalu suka K-drama, tapi yang berjudul FULL HOUSE saya suka sekali. Berapa kalipun diputar di TV, saya tonton. Saat penayangan episode terakhirnya kebetulan suami sudah di rumah (suami biasa pulang malam). Jadi mau gak mau suami ikut nonton FULL HOUSE. Menikmati ekspresi gemas saya melihat akting Yong Jai dan Ji En (ah, saya tidak peduli ejaan nama ini benar atau tidak). Dan saat Yong Jai mengucap “I Love You” pada Ji En saya spontan berkata gemas, “so sweeeeeeeettttt”. Suami tersenyum geleng-geleng melihat kehebohan saya. Hahahaha, jarang-jarang suami melihat saya seperti itu.
Beberapa hari setelah itu, ketika sedang menemani suami minum kopi sebelum berangkat ke kantor, tiba-tiba sambil senyam-senyum suami berkata, “ Hmmmmm….. Yang, I Love You”
Saya yang mendengar terbengong-bengong, hati berdesir.
“Hah???? I love you too Sayaaaaaang” kegirangan membalas ucapan romantisnya.
Tapi  otak jail bin iseng saya membunyikan sirinenya. Tetap waspada. It must be something wrong. Dan gak salah, tak lama setelah itu,  “Tambah gula dikit boleh gak?”
GuuuBBBBRRRRaaaaKKKK!!!!
*******
Oya, FYI, saya membuat tulisan ini sebenarnya sudah sekitar 2 minggu yang lalu, dan suami saya telah membacanya. Suami  ngakak panjang setelah kata “GuuuBBBBRRRRaaaaKKKK!!!!” , tapi tetap saja sampai saat ini, suami belum pernah mengucap “I Love You” lagi.
Walopun begitu, setidaknya saya masih beruntung mendapat panggilan “Sayang” yang disingkat “Yang” kalo pas ngobrol, atau “Say” kalo SMS (*nglirik Aulia). Saya bingung kenapa suami membedakannya, dan saya pernah mempertanyakannya, suami menjawab: “Yaa, supaya mesra ‘kan Yang…”
Saya sedang malas, dan migren saya sedang kumat. Tolong definisikan sendiri dan beritahu saya apa perbedaan mesra dan romantis.